SEBAB AKU ADALAH MANUSIA

Sepenggal kisah Mujahid Inspirator Asy Syahid (Insya Allah) Abdul Aziz alias Imam Samudra

Sungguh,

satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan.
‘Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar,
dan dentuman zigoyak dan da-scha-ka- (anti air craft gun).
‘Nyanyian’ kami adalah nasyid-nasyid (sejenis achapella)
pembangkit semangat jihad.
‘Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.
Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil,
apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan.

Flat ground yang dikelilingi gunung di empat penjuru itu benar-benar menentramkan hati, benar-benar ‘surga’ bagi para perindu surga kekal di akhirat. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali ia benar-benar siap menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Tidak ada seorang pun bertahan lama di situ kecuali jika ia telah siap bertarung melawan kaum kafir, baik komunis asli Uni Soviet ataupun komunis northern sebangsa Dustum –yang kini berkoalisi dengan Si Karzai di bawah ketiak Amerika dan para pengecut sekutunya.

Mereka yang datang ke tempat ‘aneh’ seperti itu hanyalah mereka yang siap membunuh atau dibunuh kafir, siap berjihad demi menegakkan kalimat Allah. Dan kesiapan mental seperti itu, hanya akan terwujud dengan rahmat dan takdir Allah. Alhamdulillah.

Khost, nama tempat itu. Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun caparkat dan cactus Afghan telah luruh, tinggallah duri-duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk kayu penghangat dan pemasak. Anor (delima) tak lagi berbuah, runtuh sudah daun-daunnya. Saghol (serigala) melolong di tengah malam. Selapis jaket mesti dikenakan. Begitulah keadaannya saat pertama kali aku tiba. Ya, saat itu musim gugur telah tiba.

Purnama kelima dari saat awal aku tiba telah menjelma. Musim gugur hilang sudah. Datanglah penggantinya. Afghanistan menggigil. Satu ketika sepulang belajar, saat aku berbaring di dekat room heater, suara keras bertubu-tubi menimpa atap tendaku, persis seperti bunyi lemparan benda keras. Saudara-saudara Afghan berteriak, “Baraan…, baraan…” Segera Aku longokkan kepalaku keluar tenda. Dan… pletak! Sebongkah benda menjitak kepalaku. Subhanallah.., bongkahan itu ternyata benda keras yang terbuat dari air yang membeku sebesar biji nangka. Dingin rasanya. Jernih warnanya. Es, nama benda itu… Kemudian baru kutahu kalau baraan itu artinya hujan.

Tiga hari kemudian sekitar jam enam pagi kudengar lagi teriakan saudara Afghan, “Baraaf…, baraaf…” Penasaran kujengukkan kepala keluar tenda. Subhanallah…, Salju…, salju…! Saat itu aku benar-benar menjadi ‘anak kecil’. Jika dulu aku suka hujan-hujanan di kampung halaman, maka saat itu aku salju-saljuan. Segera aku melompat keluar tenda menyambut kapas demi kapas salju yang terjun dari pintu-pintu langit. Saudara-saudara Afghan dan Arab hanya cengar-cengir dan cengengesan melihat polahku, tapi aku tak peduli. Ya, di negeriku tidak ada salju. Yang ada hanyalah hujan air, dan setelah itu lahirlah banjir.

Menjelang delapan pagi, saat akan memulai rutinitas, gunung-gunung di sekitar kami telah berselimut salju. Puncaknya begitu indah, hampir sama dengan gambar iklan Hazeline Snow. Di sekeliling kami tanah yang dulu berwarna coklat kini memutih, begitu juga pepohonan dan bebatuan. Kata penghuni lama di camp itu, suhu udara mencapai -7 °C (minus tujuh derajat celcius), jauh di bawah titik beku. Aku sendiri tak pernah mengukur. Yang jelas, orang sekurus aku mengenakan sekitar 5 lapis pakaian, dan kadang-kadang 6 lapis jika ditambah jaket wool ala Eropa.

Khost bukanlah kampus biasa. Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemewahan dunia. Jika mereka kuliah, hanyalah demi kepentingan dunia semata. Khost adalah sekeping tanah di bentangan-bentangan bumi. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh bisa menyerang, menghantar mortar, memuntahkan peluru, lalu terjadilah pertempuran seru. Ajal memang di tangan Allah. Tapi di Khost dan front-front jihad lain di Afghanistan kematian terasa begitu dekat. Musuh ada di segala arah. Maut sewaktu-waktu akan menjemput.

***************************************************

Siaga tetap siaga. Waspada tetap waspada. Tetapi ‘indah’ adalah ‘indah’. Main salju bagiku terlalu indah, subhanallah. Umurku saat itu baru menjelang dua puluh. Masih ada tersisa rona-rona jahiliyah. Masih ada guratan-guratan kenangan lama. Tanggal dan harinya lupa sudah. Tetapi yang jelas di malam hari, langit begitu cerah, gemintang begitu indah menantang. Cassiopia, jalinan bintang berbentuk ‘W’ kubidik sebagai sasaran.

Nah…, tiba-tiba ingatanku jauh ‘terlempar’ ke alam ‘sana’, ke sebuah benua bernama Asia, terus terlempar ke Asia Tenggara, dan terus ke sebuah negara dengan ibukota bernama Jakarta. Di sebelah baratnya ada kota bernama Kalideres, diteruskan lagi ke arah barat. Satu jam kemudian kan tiba di terminal yang disebut Ciceri. Berjalan saja ke utara yang sekitar 1000 meter. Maka tibalah di sebuah tempat bernama Cinanggung. Ada sebuah rumah, Blok F 140…. Duh, ternyata di situlah rumah seorang wanita yang tempo hari kukirim postcard.

Astaghfirullah! Segera kusebut asma-Nya, ada apa ini? Segera kuambil teko kecil berisi air hangat, lalu aku berwudlu, shalat dua rakaat, berbaring. Malam begitu panjang, mata sukar terpejam. Seperti telah kubilang, ‘indah’ adalah tetap ‘indah’, ingin aku berbagi cerita, tapi dengan siapa? Dengan saghol-saghol, dengan atap tenda, atau dengan siapa? Ternyata tidak ada. Ya sudah ‘telan sendiri’ saja. Refleks goresan jahiliyahku kembali timbul. Running text, penggalan syair Ebiet G. Ade pun berkelebat, katanya:

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan…
Sayang kau tak duduk di sampingku kawan…


Laa ilaha illallah. Astaghfirullahal ‘Azhiim… kembali kusebut asma-asma-Nya.

***

Casio F-44-w di tanganku menunjukkan angka 4 lebih sedikit. The seven brother, rangkaian rasi yang terdiri dari 7 bintang telah mengambil posisinya. Waktu sahur telah tiba, ikhwan-ikhwan yang lain segera kubangunkan. Beberapa potong daging, sedulang nasi minyak Afghanis, 4 sobek roti nan dan sambal kentang yang telah kuhangatkan segera kusajikan. Malam itu memang giliranku sebagai penyaji sahur. Dalam suasana ukhuwah, dengan penuh kesyukuran kami santap rezeki Allah itu. Sedangkan udara di luar sana kian menggigit. Pagi semakin dingin.

Jumat pagi, sinar akhtab (matahari) cukup hangat. Ada sedikit aktivitas yang kami jalankan demi menjaga stabilitas iman dan stamina jasad. Demi maintenance niat-niat suci mencari syahid, menghimpun ridha Allah dan syurga-Nya. Hari itu, dalam salah satu even, Allah mengujiku dengan sedikit luka yang menimpa sebagian lengan dan kakiku. Aku diam, diriku dan Allah yang tahu. Aku berharap semoga hal ini kelak akan menjadi saksi di hari akhirat.

Tetapi setelah itu, lagi-lagi sisa-sisa jahiliyahku mencuat, lalu mengalirlah di batinku,

Mungkinkah kau masih mengharapkanku…
Kini tubuhku penuh dengan luka…


Potongan syair dari lagu Tommy J. Pisa yang sempat ngetop di masa aku eS-eM-Pe. Aku seolah-olah berbicara dengan sang mantan Ketua OSIS-ku itu. Suatu hal yang semestinya sangat tidak pantas dialami oleh lelaki yang sedang mengejar bidadari sejati di alam surga nanti. Yang sedang mengejar ridha Allah dan surga-Nya.

Sungguh aku tak mengerti mengapa hal seperti itu mesti terjadi dan kualami. Tidak ada faktor pendukung secara lahir, baik dari personal, aktivitas lingkungan, yang dapat memancing kenangan itu hadir kembali. Pada sorenya, segera kuingat pesan Umar bin Khattab, “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak…”

Ya, kini aku harus menghitung diri, instrospeksi atas segala apa yang terjadi dan kualami. Aku sangat mengerti bahwa mengingat wanita yang bukan mahram adalah termasuk zina hati. Mengenang masa lalu dengan mantan Ketua OSIS adalah juga termasuk dosa-dosa kecil yang akan mengotori hati. Tetap dosakah jika semua nostalgia itu datang secara surprise, tak dipaksa? Adakalanya kenangan itu tiba-tiba hadir saat mataku tertumbuk huruf Z, atau melihat kacamata. Kenapa? Ebiet G. Ade pasti tahu jawabannya…

Teori umum mengatakan bahwa kenangan atau lamunan, biasanya timbul saat kita tidak memiliki kesibukan atau ketika waktu senggang. Tetapi aku tidak, justru kenangan itu timbul di saat-saat aku sibuk, di saat tanganku menyandang kalashinkov, di tengah gelegar mortar, di tengah hujan peluru dan bau mesiu. Saat menghisab diri yang entah untuk kesekian kali, hampir selalu tak ketemu jawaban. Mengadu pada teman sebaya, atau konsultasi pada senior? No! aku bukan tipe seperti itu. “Solve Yourself Problem !” Itu mottoku. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah yang Maha Tahu. Dialah tempat mengadu.

Akhirnya… Di musim salju tahun kedua, kujumpa jawabannya. Gerangan apa? “SEBAB AKU ADALAH MANUSIA.”

Rabbi…
Telah aku berdoa pada-Mu
Dalam hampir tiap-tiap waktuku.
Aku berkata pada-Mu
Cabutlah segala rinduku, kecuali kerinduan pada-Mu

Dalam simpuh dan sujudku
Selalu aku mengadu
Jangan gugurkan pahalaku
Hanya karena secuil rindu yang mengganggu

Robbie…
Jika Kau takdirkan peluru menembus ulu hatiku
Dan lalu aku menjumpai-Mu
Terimalah ke-syahidanku
Telah aku bertaubat, atas segala kenangan yang kuingat.

Ini ada peluru, ini ada mesiu
Aku rindu Ayah Bunda, aku rindu Si Dia,
Tetapi aku lebih rindu pada-Mu

Saat musim salju tiba
Maka rindu pun menjelma
La hawla wala quwwata illa billah…

sumber :

ebook " Aku melawan Teroris " oleh Imam Samudra

0 comments:

Posting Komentar

 
;