1 comments

Syuhada Syuhada Mu'tah

Jumadil 'Ula 8H, Rasulullah saw. Mengirim sepasukan angkatan perangnya ke Mu'tah. Abdullah bin Rawahah merupakan satu dari tiga panglima yang ditunjuk Rasulullah saw. untuk memimpin pasukan perang. Dua lainnya adalah Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abu Thalib.

Saat keberangkatan tiba, para balatentara mengucapkan selamat tinggal & salam perpisahan kepada para pembantu Rasulullah saw. Tatkala Abdullah bin Rawahah mengucapkan kata perpisahannya, dia menangis..

"Mengapa kamu menangis, hai Ibnu Rawahah?" tanya mereka.
Dia jawab, "Demi Allah. Sesungguhnya, pada diriku tidak ada lagi rasa cinta kepada dunia ataupun berat hati kepada kalian. Akan tetapi, aku pernah mendengar Rasulullah saw. membacakan sebuah ayat dalam kitab Allah 'Azza wa Jalla, di mana beliau sebutkan tentang neraka,'Dan tidak ada seorangpun dari kamu sekalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Itu bagi Tuhanmu adl suatu kemestian yg sudah ditetapkan' (Maryam[19]:71). Aku tidak tahu bagaimanakah cara keluar dari neraka itu setelah mendatanginya kelak."

Berkata kaum muslimin,"Semoga Allah senantiasa menemanimu dan mengembalikan kamu kepada kami denan sehat sentosa."

Abdullah bin Rawahah lalu bersenandung dengan syairnya..

"Tapi kepada ar-Rahman
Kumohon ampunan
Dan kemampuan menghantam
Keras, menepis buih lautan

Atau hentakan mematikan
Di tangan yang dahaga
Tuk hunjamkan tombak
menembus kulit dan jantung

Hingga orang katakan
Bila mereka lewati pusara beta,
Maka Allah kenalkan kepada mereka,
'Inilah pahlawan yang mematuhi Tuhan.'"

Saat itu Abdullah bin Rawahah mendatangi Rasulullah saw. untuk mengucapkan selamat berpisah, kemudian dia senandungkan pula syairnya..

"Semoga Allah meneguhkan kebaikan
Yang Dia datangkan kepada Anda
Seperti Dia meneguhkan Musa,
Dan kemenangan seperti mereka.

Lain dari itu, sesungguhnya aku
punya firasat baik terhadapmu
Allah tentu tahu
Aku ini berpandangan jitu.

Engkaulah utusan Allah.
Barangsiapa menolak ajaran-ajarannya
Dan berpaling darinya,
Niscaya takdir menghinakannya."

Berangkatlah bala tentara itu dengan diantar oleh Rasulullah saw. Manakala beliau mengucapkan selamat jalan & berlalu dari mereka, bersenandunglah Ibnu Rawahah..

"Tinggallah kini ucapan salam
Kepada orang yang kutinggalkan
Dialah pembangkit semangat
Dan teman terbaik dalam memberi nasihat."

Pertempuran pun terjadi tatkala tentara Heraklius dan kaum muslimin bertemu di Mu'tah. Zaid bin Haritsah sebagai panglima maju menghadapi musuh dengan membawa bendera Rasulullah hingga tewas bersimbah darah terkena tombak-tombak musuh. Oh, Zaid telah menemui syahidnya..

Bendera itu lalu diambil Ja'far bin Abu Thalib. Sambil membawa bendera itu Ja'far pun menerjang musuh. Kerinduan kepada surga kiranya telah mendorong Ja'far ra. untuk melompat dari kudanya yang berwarna pirang, lalu bersuka cita melihat surga itu, selagi menghadapi musuh seraya bersenandung,,

"O surga, betapa indahnya
Ia begitu dekat,
Harum semerbak,
Betapa segar minumannya.

Orang-orang Romawi itu tuak
Azab mereka telah dekat
Kafir mereka
Terkutuklah nasab mereka

Bila kutemui mereka
Pasti kuhajar mereka semua."

Ja'far memegang bendera dengan tangan kanannya, maka tangan kanan itu terpenggal. Lalu dipegangnya bendera itu dg tangan kirinya, namun terpenggal pula. Lalu didekapnya bendera itu dengan kedua lengan atasnya, hingga akhirnya panglima kedua itupun gugur. Ja'far bin Abu Thalib gugur sebagai syuhada dan masuk surga, dan dia terbang dalam surga dengan sepasang sayap yang terbuat dari permata yaqut, kemana saja yang dia suka.

Pasca syahidnya Ja'far, bendera langsung dipegang oleh Abdullah bin Rawahah. Dengan membawa bendera, Ibnu Rawahah maju mengendarai seekor kuda, namun tiba-tiba dia mengalami sedikit keraguan dan patah semangat. Namun kemudian dia mencela dirinya sendiri dengan syairnya yang indah..

"Aku sumpahi kamu, hai diriku.
Turunlah kamu,
Turun!
Atau kamu akan dipaksa turun!

Untuk menyeru balatentara
Dan berteriak keras-keras.
Kenapakah kulihat kamu
Tidak menyukai surga?!

Bukankah telah sekian lama
Kau menunggu dengan penuh harapan?
Bukankah kamu ini tak lebih
Dari setetes mani yang ditumpahkan?"

Tak cukup dengan mengecam dirinya, Ibnu Rawahah pun menasihati dirinya..

"Wahai diriku,
Jika kau tak sudi membunuh musuh
Kaulah yang akan terbunuh.
Disini kau lihat kubangan mau.

Apa yang kau impikan
Kini kepadamu telah ditawarkan
Jika kautiru kedua pahlawan itu
Kau kan mendapat petunjuk."

Kiranya itulah yang dialami Ibnu Rawahah, imannya yang mendalam telah mendominasi seluruh hatinya. Sejurus kemudian, Abdullah bin Rawahah turun ke medan laga, menerjang ke tengah pertempuran hingga gugur sebagai syahid di jalan Allah..

- Siroh Nabawi
- Manhaj Haraki 2, Karakterisik Kesebelas
0 comments

Surat Ali bin Abi Thalib kepada Malik bin al-Harits al-Asytar [ II ]

Cintai dan Kasihilah Rakyatmu
Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua jenis, yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang sepertimu.[1]

Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan.[2] Bagaimanapun, berilah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.

Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak mungkin mampu menolak azab-Nya[3] dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.

Lembut dan Rendah Hati
Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira bergembira dengan sebuah hukuman. Jangan pula tergesa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memperoleh jalan keluar.[4]

Jangan katakan, “Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati,” karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu.[5]

Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaanmu, atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga atau ketakaburan,[6] maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah alam semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenanganmu[7] dan mengembalikan pemikiranmu yang terlampau jauh.[8]

Janganlah sampai engkau melawan Allah dalam keagungan-Nya[9] dan menyerupai-Nya dalam keperkasaan-Nya. Sesungguhya Allah akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang sombong.

[1] Jadikanlah kasih sayang sebagai bajumu, karena rakyat itu adakalanya saudaramu seagaman dan adakalanya manusia sejenismu yang secara manusiawi kita bersikap lembut padanya.
[2] Kata yufrithu berarti diluar kemauan, kata az-zalal berarti kesalahan. Kalimat yu’thî ‘ala aidîhim berarti perbuatan-perbuatan dosa yang mereka lakukan.
[3] Memerangi Allah adalah menyalahi syariat-Nya dengan berbuat zalim dan curang. Kata lâ yadai laka biniqmatihi berarti anda tidak memiliki kemampuan untuk menolak siksa-Nya
[4] Kata lâ tabajjahanna bi ‘uqûbatin berarti janganlah bergembira dengan turunnya hukuman. Karena kata al-bâdirah berarti tindakan yang tak terkontrol ketika emosi/marah.
[5] Kata lâ taqûlanna innî mu’ammarun berarti jangan katakana, “Aku adalah seorang penguasa yang bisa memerintahkan apa saja dan harus ditaati.” Kata al-idghâl berarti kerusakan, dan kata wa manhakatun liddîn berarti menghapus dan menyia-nyiakan.
[6] Kata al-makhîlah berarti sombong dan ujub.
[7] Kata al-gharbu berarti batasan sesuatu, ini adalah kata untuk mengungkapkan kesewenang-wenangan.
[8] Kata yafi’u berarti pemikiran yang tercerai-berai akan terfokus kembali.
[9] Kata musâmâtullah berarti menandingi-Nya dalam keagungan.
0 comments

Surat Ali bin Abi Thalib kepada Malik bin al-Harits al-Asytar [ I ]

Pendahuluan
Inilah sebuah instruksi dari hamba Allah, Amirul Mukminin, kepala Negara, Ali bin Abi Thalib r.a. kepada Malik bin Harits Al-Asytar, ketika ia diangkat menjadi Gubernur Mesir untuk mengurus pajaknya, memerangi musuh-nya, memperbaiki kondisi penduduknya dan memakmurkan negaranya.

Takut dan Taatlah Hanya pada Allah
Ali memerintahkan pada Gubernur Mesir untuk bertakwa kepada Allah, dan selalu taat kepada-Nya. Mengikuti perintah Allah sebagai-mana tertuang dalam kitab-Nya (Al-Quran), baik perintah yang wajib maupun yang sunnah, lebih dari apapun bahkan permintaan dari para pemilihnya. Tidak menjalankan apa yang tidak sesuai dengan kebijaksaan atau yang dapat membuat seseorang menjadi jahat. Elakkan semua itu dengan menolak dan melawannya, berlindung pada kebesaran Allah dengan segenap hati, tangan (perbuatan) dan lidah (perkataan).[1] Dengan begitu, Allah yang Maha Kuasa akan menolong mereka yang telah membantu-Nya dan akan melindungi mereka yang senantiasa beribadat kepada-Nya.
Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib r.a. memberi nasehat pada Gubernuur itu agar ia mengendalikan hawa nafsu ketika menghadapi syahwat yang bergejolak[2] dan tidak mengikuti-nya. Karena hawa nafsu cenderung berujung pada keburukan, kecuali bagi orang-orang yang dirahmati Allah.

Harta Karun Termahal
Ketahuilah wahai Malik, bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun yang tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.

Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana engkau bicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan menggelapkan semua bukti dari tindakan baikmu.

Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari peruatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali, dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspada itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.[3]

[1] Menolong Allah dengan tangan maksudnya adalah berjihad dengan senjata, dengan hati adalah meyakini kebenaran, dengan lisan adalah mengatakan yang hak, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang munkar.
[2] Gejolak nafsu adalah kecondongannya terhadap syahwat dan segala keinginannya. Kata naza’a berarti mencegah.
[3] Amirul Mukminin memerintahkannya untuk bersikap pelit terhadap jiwanya dan dia telah menafsirkan pelit kepada jiwa tersebut, yaitu mengendalikan jiwa dalam perkara yang dicintai atau dibenci, yakni tidak membiarkannya lepas tanpa kendali dalam syahwat. Jadilah pemimpin dan pengatur nafsu dalam pengandaliannya.
0 comments

Surat Umar Rhadiyallahu ‘Anhu kepada Abu Musa Al-Asy’ari

Surat-surat kenegaraan Umar Rhadiyallahu ‘Anhu kepada para Amilnya (Gubernur dan Qhadi) di wilayah kekuasaan Islam yang telah menyebar ke seantero dunia. Salah satunya yang dikirim kepada Abu Musa Al-Asy’ari: 

Amma ba’du, sesungguhnya menetapkan hukuman (al-qhada) adalah satu kewajiban yang pasti dan termasuk tradisi yang otentik. Jika ada satu permasalahan datang kepadamu, maka ketahuilah bahwa ucapan yang benar tidak akan ada manfaatnya bila tidak dengan diikuti dengan implementasi riil.

Ketika ada orang (dengan berbagai latar belakang strata sosial) berada di majlis pengadilan, perlakukalah mereka dengan sama, pandanglah mereka dengan pandangan yang sama dan hendaknya hukuman yang kamu putuskan juga sama (tidak ada diskriminasi), sehingga orang yang mulia (yang mempunyai status sosial yang tinggi) tidak akan mengharapkamu melakukan kezhaliman  dan supaya orang-orang yang lemah tidak kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan kamu.

Barang bukti adalah kewajiban yang harus diberikan oleh orang yang menuduh, dan sumpah adalah penguat bagi pihak yang menolak tuduhan tersebut. Kesepakatan berdamai yang dilakukan oleh sesama umat Islam dibolehkan, kecuali jika kesepakatan damai tersebut menyebabkan hal-hal yang diharamkan menjadi halal atau hal-hal yang halal menjadi haram.

Barang siapa yang mengklaim ada hak yang terabaikan, maka berilah dia tenggang waktu, jika dia sanggup menerangkan duduk perkara tersebut (dengan bukti-bukti kuat), maka berikanlah hak terbsebut kepadanya, namun dia gagal meyakinkanmu, maka masalahnya terpecahkan dengan sendirinya. Ini adalah cara yang tepat (untuk menyelesaikan sengketa).

Jika kamu mendapatkan petunjuk (keyakinan) baru yang bisa mengubah keputusan yang telah kamu tetapkan hari ini, maka jangan takut (malu) untuk mengubah keputusan baru yang benar, karena sesungguhnya kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh apa pun. Dan mengoreksi diri untuk mendapatkan kebenaran, lebih baik daripada terus-terusan berada dalam kebatilan.

Semua orang muslim adalah adil (terpecaya), kecuali orang sudah pernah melakukan sumpah palsu atau dicambuk karena putusan hukum (hudud) atau diragukan loyalitas dan kedekatannya (dengan Islam). Yang mengetahui rahasia-rahasia hanyalah Allah. Allah akan tetap menutupi putusan-putusan  hukum hingga ada bukti-bukti atau sumpah (yang akan memperjelas duduk perkara yang terjadi).

Jika kamu menghadapi masalah yang hukumnya tidak disinggung secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau Sunnah, maka gunakanlah akal yang digunakan yang dianugerahkan kepadamu dengan cara mengqiyaskan masalah-masalah tersebut. Ketahuilah dengan baik contoh-contoh kasus (yang hukumnya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an), kemudian ambil keputusan hukum yang sekiranya kamu yakin bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang lebih dicintai Allah dan lebih dekat dengan kebenaran.

Jauhilah sikap marah, bingung, menyakiti orang lain dan mempersulit permasalahan ketika terjadi sengketa. Putusan hukum yang tepat, mengenai sasarna kebenaran, akan mendapatkan pahala dari Allah, dan akan dikenang. Barang siapa dalam melakukan kebenaran didasari dengan niat yang ikhlas, maka dia akan merasa cukup hanya Allah-lah (yang akan melindungi dan menolongnya dalam masalah-masalah) yang menyangkut dirinya dan orang lain. Barang siapa mengada-ada maka Allah akan mencelanya. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seorang hamba kecuali amal yang didasari dengan keikhlasan.

Bagaimanakah pendapatmu mengenai pahala-pahala Allah, baik berupa rezeki yang kamu dapat di dunia dan rahmat-rahmat-Nya yang masih tersembunyi. Wassalam”.[1]
=====================================================================
Surat Umar Radhiyallahu ’Anhu ini adalah merupakan upayanya untuk mengaplikasikan nilai keadilan dan ketegasan hukum di seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu. Namun, karena semakin luasnya daerah kekuasaan mengakibatkan Umar Radhiyallahu ’Anhu mengalami kesulitan untuk mengawasi setiap jengkal wilayah dan prilaku amil di wilayah-wilayah itu. Satu sisi, surat ini telah memberikan sebuah pelajaran bagaimana Umar Radhiyallahu ’Anhu sangat mengandalkan pemahaman para amil (gubernur dan qhadi) yang utuh terhadap permasalahan penegakkan hukum  dan keadilan. Sisi lain, menunjukkan Umar  Radhiyallahu ’Anhu adalah sosok yang mempunyai gagasan dan ide yang kuat. Lebih dari itu, punya keberanian mengaplikasikannya dalam ruang lingkup kewenangannya dengan banyak menelorkan ijtihad-ijtihad kreatif yang mampu menjawab tantangan zaman. Pada masa ini telah terjadi pembagian kerja yang lebih terstruktur. Umar Rhadiyallahu ‘Anhu merupakan peletak dasar pemisahan kewenangan Guebrnur dan Qadhi. DR. Muhammad Yusuf Musa berpendapat; bahwa dengan surat ini berarti Umar adalah orang yang pertama meletakkan dasar-dasar sistem peradilan dan hukum acara pidana.[2]

[1] I’lam Al-Muawaqqiin, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996, halaman 68. Terjemahan diambil dari buku Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatthtab, DR. Muhammad Baltaji, yang diterjemahkan oleh H. Irham Masturi, Lc. Meskipun Surat ini mengundang silang pendapat, tapi penulis sendiri sejalan dengan pendapat DR. Baltaji bahwa surat ini otentik dari Umar ibnul Khaththab untuk Abu Musa Al-Asyari.
[2] Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, DR. Muhammad Yusuf Musa, Rujuk Metodelogi Ijtihad Umar bin Al-Khathtab, DR. Muhammad Baltaji, halaman 45.
 
;