Sebuah kalimat yang keluar dari lisan kreator dakwah Imam Syahid Hasan Al-Banna,
Menjadi prinsip umum yang kita fahami dalam aktifitas dakwah, bahwa apabila kita telah memilih dakwah menjadi panglima dalam setiap gerak dan langkah hidup kita, maka yang selanjutnya harus kita miliki dalam merentasi jalannya adalah sikap hidup yang totalitas. Imam syahid telah menggariskan satu dari prinsip dakwah ini dalam rukun bai’at yang sepuluh yang ia wakilkan dengan kata tajarud.
Mencoba menyelami samudera hikmah dari prinsip ini, betapa Imam syahid memiliki pemahaman terhadap jalan dakwah yang mulia ini. Bahwa di antara beragam pilihan hidup dan warna-warninya, maka dakwah adalah satu di antaranya yang dapat kita pilih. Terserah kepada kita, apakah kita memilihnya, atau mencampakannya untuk beralih pada pilihan orientasi aktifitas kehidupan yang lain. Pilihannya hanya ada dua dan tidak ada yang ketiga. Masuk dan melebur secara totalitas di dalamnya, atau tinggalkan semuanya. Tidak ada pilIhan untuk memilih di antara keduanya pada sebagiannya saja. Untuk dakwah segini, untuk selainnya segitu, tidak sekali-kali tidak.
Maka dakwah, untuk selanjutnya adalah pengorbanan (tadhiyah), sebagai konsekwensi dari totalitas (tajarud). Bahwa ia adalah pilihan sempurna kita terhadap cita-cita perjuangan. Pun terkadang ia akan berbenturan dengan sebentuk harapan dan cita-cita kita yang lain, menjadi niscaya untuk kita agar tetap menjadikan dakwah sebagai seutama orientasi dan permulaan misi, dalam segala peran dan status apapun, di waktu kapanpun. Maka keluarlah kalimat yang terkenal itu, Nahnu du’at qobla kulli syai’in, Bahwa kita adalah da’i sebelum segala sesuatu, begitu, dan selamanya harus selalu seperti itu. Oleh karena itu tadhiyah atau pengorbanan adalah salah satu hal yang menjadi niscaya dalam hidup kita. Pengorbanan yang bukan hanya sedikit saja, tapi pengorbanan yang banyak, sebanyak apapun yang kita miliki. Sebanyak apa yang kita rasakan dari dua frase yang sering di ulang-ulang dalam Al-Qur’an tentang harga dari sebuah pengorbanan di jalan Alloh, bi amwaal wa anfuus, dengan harta dan jiwa. Ya, pengorbanan agung yang sering di ulang-ulang itu adalah pengorbanan dengan harta, pula dengan jiwa. Sudahkan kita mempersembahkan kedua pengorbanan itu dalam tingkat yang optimal seperti yang Alloh maksudkan. Pengorbanan harta berarti menjadikan amanah harta yang kita miliki menjadi bekal yang kita sumbangkan bagi dakwah ini. Dan pengorbanan jiwa berarti kerelaan kita untuk menjadikan nyawa ini sebagai harga dari syurga atau kemenangan bagi Islam yang mulia. Maka demi merenungi dua frase yang menjadi bentuk pengorbanan dalam dakwah yang sudah Alloh gariskan dalam Al-Qur’an, kelihatannya apa yang kita lakukan belumlah apa-apa. Kita memang bukan seorang Abu Bakar yang telah menginfakkan seluruh hartanya untuk Alloh dan rosul-Nya di jalan dakwah, dan tidak sedikitpun menyisakan untuk diri dan keluarganya. Kitapun mungkin tidak sanggup seperti Umar yang “hanya” berani menyisihkan separuh perbendaharaan harta yang dimiliki untuk perkembangan dakwah ini. Tidak, kita tidak akan sanggup menyamai prestasi mereka dalam segala apapun konteksnya.
Oleh karena itu ikhwan wa akhwat fillah, mari kita coba bercermin diri atas seberapa banyakkah pengorbanan yang kita berikan bagi dakwah ini. Saya tidak mencoba membawa tema diskusi pengorbanan ini dalam konteks harta apalagi jiwa seperti suatu tabiat perjuangan yang di tegaskan dalam Al-Qur’an bukan hanya sekali itu. Belum, kita belum sanggup untuk berbicara mengenai standar harta dan jiwa sebagai harga niscaya yang harus kita persiapkan demi menyongsong kemuliaan anugerah syurga atau kehidupan mulia di dunia. Karena pengorbanan kita sampai detik ini hanya memprasyaratkan waktu dan tenaga yang tidak seberapa demi aktifitas dakwah yang kita rentasi ini. Itupun banyak dari kita yang lebih sering menjalankan hanya dalam skala yang minimal saja. Berapa banyak porsi waktu, tenaga, maupun perhatian yang kita curahkan demi perkembangan dakwah ini. Yang ada, tiap kali ada tugas yang ada sangkut pautnya dengan dakwah yang di berikan oleh mas’ul dakwah kita, kita lebih sering berapologi dengan menjadikan kuliah atau hal lain sebagai “pembenar” atas tindakan kontraproduktif kita dalam dakwah. “Afwan akh, ane lagi sibuk ngerjain tugas, terus praktikum, terus ada kuis, terus ini, terus itu, jadi ngga bisa nyelesein tugas dakwah yang antum berikan. Ane minta toleransi waktu beberapa hari lagi ya”, begitu mungkin fenomena yang sering terjadi. Sebenernya saya pun tidak melihat fenomena itu menjadi suatu masalah, karena memang kita tengah dalam tahapan pembelajaran penyeimbangan peran. Tapi menjadi permasalahan ketika pada kesempatan selanjutnya, setelah masa toleransi waktu habis, maka yang terlontar lagi-lagi apologi, “Afwan akh, beberapa hari ini ternyata ane harus ini dan harus itu, jadinya tugas yang dari antum belum juga dapat diselesaikan”. Namun, dari apologi yang diilustrasikan di atas pun masih saya sangat syukuri. Karena minimal aktifitas penghambatnya masih terhitung produktif, yaitu tentang tugas dan kepentingan perkuliahan. Asal jangan waktu-waktu itu terisikan dengan perbuatan-perbuatan sia-sia yang sama sekali tidak ada manfaatnya, banyak menonton tv misalnya, atau banyak santai dan berleha-leha, istirahat dan tidur yang berlebihan, dan lain-lain. Tapi jika hal-hal seperti itu masih terjadi dalam kehidupan dakwah antum, maka sepertinya harus ada yang harus dibenahi mengenai pemahaman antum tentang dakwah.
Ikhwan wa akhwat fillah, sungguh dakwah ini meniscayakan pengorbanan. Dan satu wujud pengorbanan dan sangat mungkin untuk kita praktikkan adalah pengorbanan pencurahan perhatian baik waktu maupun tenaga untuk dakwah ini. Dalam kesendirian antum, dalam keluangan waktu antum, dalam roda kesibukan aktifitas antum, dalam segala apapun jenak kehidupan antum, jangan biarkan ia terlengah dari orientasi dakwah. Pun bagi antum yang sampai saat ini masih memiliki banyak waktu luang. Daripada antum tidur atau menonton acara tv yang kontraproduktif, saya pikir akan sangat lebih baik bagi antum ketika antum mencoba memikirkan dakwah ini. Atau minimal, antum bisa membaca dan menghafal qur’an, melahap buku, melakukan silaturrahim dakwah atau apapun yang bernilai positif, bagi antum maupun bagi dakwah. Terutama waktu-waktu “rawan” seperti habis shubuh, jangan biarkan ia tersia dengan kembalinya antum ke peraduan yang berselimutkan kelelapan. Karena salah satu hal yang di ajarkan Rosul sang tauladan adalah memproduktifkan waktu di saat-saat waktu ini. Bahkan Rosul berdoa khusus kepada Alloh untuk memberkahi umat Islam ketika di waktu paginya. Tentunya keberkahan yang turun berbarengan dengan kesungguhan dalam bergerak, bukan dalam diam, apalagi dalam tidur yang lelap. Maka kata kunci dalam pengorbanan di jalan dakwah hanya satu, tidak lain dan tidak bukan ialah jiddiyah, atau kita kenal dengan kesungguhan. Maka ikhwah, mari kita berlomba, dalam pengorbanan, dalam kesungguhan, bukan dalam hal bermalas-malasan.
Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW pada Bai’atul Harbi untuk mendengar dan setia, baik pada waktu susah mupun senang, tidk akan berpecah belah, akan mengatakan kebenaran di mana saja berada, dan tidak akan takut kepada siapapun di jalan Allah (Biat Aqabah II)
Sumber:Pena Peradaban
“Dakwah ini tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap, TOTALITAS!!! Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama dakwah, dan dakwah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang lemah dalam memikul amanah ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang duduk. Lalu Alloh akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan lebih sanggup memikul beban dakwah ini”.
Menjadi prinsip umum yang kita fahami dalam aktifitas dakwah, bahwa apabila kita telah memilih dakwah menjadi panglima dalam setiap gerak dan langkah hidup kita, maka yang selanjutnya harus kita miliki dalam merentasi jalannya adalah sikap hidup yang totalitas. Imam syahid telah menggariskan satu dari prinsip dakwah ini dalam rukun bai’at yang sepuluh yang ia wakilkan dengan kata tajarud.
Mencoba menyelami samudera hikmah dari prinsip ini, betapa Imam syahid memiliki pemahaman terhadap jalan dakwah yang mulia ini. Bahwa di antara beragam pilihan hidup dan warna-warninya, maka dakwah adalah satu di antaranya yang dapat kita pilih. Terserah kepada kita, apakah kita memilihnya, atau mencampakannya untuk beralih pada pilihan orientasi aktifitas kehidupan yang lain. Pilihannya hanya ada dua dan tidak ada yang ketiga. Masuk dan melebur secara totalitas di dalamnya, atau tinggalkan semuanya. Tidak ada pilIhan untuk memilih di antara keduanya pada sebagiannya saja. Untuk dakwah segini, untuk selainnya segitu, tidak sekali-kali tidak.
Maka dakwah, untuk selanjutnya adalah pengorbanan (tadhiyah), sebagai konsekwensi dari totalitas (tajarud). Bahwa ia adalah pilihan sempurna kita terhadap cita-cita perjuangan. Pun terkadang ia akan berbenturan dengan sebentuk harapan dan cita-cita kita yang lain, menjadi niscaya untuk kita agar tetap menjadikan dakwah sebagai seutama orientasi dan permulaan misi, dalam segala peran dan status apapun, di waktu kapanpun. Maka keluarlah kalimat yang terkenal itu, Nahnu du’at qobla kulli syai’in, Bahwa kita adalah da’i sebelum segala sesuatu, begitu, dan selamanya harus selalu seperti itu. Oleh karena itu tadhiyah atau pengorbanan adalah salah satu hal yang menjadi niscaya dalam hidup kita. Pengorbanan yang bukan hanya sedikit saja, tapi pengorbanan yang banyak, sebanyak apapun yang kita miliki. Sebanyak apa yang kita rasakan dari dua frase yang sering di ulang-ulang dalam Al-Qur’an tentang harga dari sebuah pengorbanan di jalan Alloh, bi amwaal wa anfuus, dengan harta dan jiwa. Ya, pengorbanan agung yang sering di ulang-ulang itu adalah pengorbanan dengan harta, pula dengan jiwa. Sudahkan kita mempersembahkan kedua pengorbanan itu dalam tingkat yang optimal seperti yang Alloh maksudkan. Pengorbanan harta berarti menjadikan amanah harta yang kita miliki menjadi bekal yang kita sumbangkan bagi dakwah ini. Dan pengorbanan jiwa berarti kerelaan kita untuk menjadikan nyawa ini sebagai harga dari syurga atau kemenangan bagi Islam yang mulia. Maka demi merenungi dua frase yang menjadi bentuk pengorbanan dalam dakwah yang sudah Alloh gariskan dalam Al-Qur’an, kelihatannya apa yang kita lakukan belumlah apa-apa. Kita memang bukan seorang Abu Bakar yang telah menginfakkan seluruh hartanya untuk Alloh dan rosul-Nya di jalan dakwah, dan tidak sedikitpun menyisakan untuk diri dan keluarganya. Kitapun mungkin tidak sanggup seperti Umar yang “hanya” berani menyisihkan separuh perbendaharaan harta yang dimiliki untuk perkembangan dakwah ini. Tidak, kita tidak akan sanggup menyamai prestasi mereka dalam segala apapun konteksnya.
Oleh karena itu ikhwan wa akhwat fillah, mari kita coba bercermin diri atas seberapa banyakkah pengorbanan yang kita berikan bagi dakwah ini. Saya tidak mencoba membawa tema diskusi pengorbanan ini dalam konteks harta apalagi jiwa seperti suatu tabiat perjuangan yang di tegaskan dalam Al-Qur’an bukan hanya sekali itu. Belum, kita belum sanggup untuk berbicara mengenai standar harta dan jiwa sebagai harga niscaya yang harus kita persiapkan demi menyongsong kemuliaan anugerah syurga atau kehidupan mulia di dunia. Karena pengorbanan kita sampai detik ini hanya memprasyaratkan waktu dan tenaga yang tidak seberapa demi aktifitas dakwah yang kita rentasi ini. Itupun banyak dari kita yang lebih sering menjalankan hanya dalam skala yang minimal saja. Berapa banyak porsi waktu, tenaga, maupun perhatian yang kita curahkan demi perkembangan dakwah ini. Yang ada, tiap kali ada tugas yang ada sangkut pautnya dengan dakwah yang di berikan oleh mas’ul dakwah kita, kita lebih sering berapologi dengan menjadikan kuliah atau hal lain sebagai “pembenar” atas tindakan kontraproduktif kita dalam dakwah. “Afwan akh, ane lagi sibuk ngerjain tugas, terus praktikum, terus ada kuis, terus ini, terus itu, jadi ngga bisa nyelesein tugas dakwah yang antum berikan. Ane minta toleransi waktu beberapa hari lagi ya”, begitu mungkin fenomena yang sering terjadi. Sebenernya saya pun tidak melihat fenomena itu menjadi suatu masalah, karena memang kita tengah dalam tahapan pembelajaran penyeimbangan peran. Tapi menjadi permasalahan ketika pada kesempatan selanjutnya, setelah masa toleransi waktu habis, maka yang terlontar lagi-lagi apologi, “Afwan akh, beberapa hari ini ternyata ane harus ini dan harus itu, jadinya tugas yang dari antum belum juga dapat diselesaikan”. Namun, dari apologi yang diilustrasikan di atas pun masih saya sangat syukuri. Karena minimal aktifitas penghambatnya masih terhitung produktif, yaitu tentang tugas dan kepentingan perkuliahan. Asal jangan waktu-waktu itu terisikan dengan perbuatan-perbuatan sia-sia yang sama sekali tidak ada manfaatnya, banyak menonton tv misalnya, atau banyak santai dan berleha-leha, istirahat dan tidur yang berlebihan, dan lain-lain. Tapi jika hal-hal seperti itu masih terjadi dalam kehidupan dakwah antum, maka sepertinya harus ada yang harus dibenahi mengenai pemahaman antum tentang dakwah.
Ikhwan wa akhwat fillah, sungguh dakwah ini meniscayakan pengorbanan. Dan satu wujud pengorbanan dan sangat mungkin untuk kita praktikkan adalah pengorbanan pencurahan perhatian baik waktu maupun tenaga untuk dakwah ini. Dalam kesendirian antum, dalam keluangan waktu antum, dalam roda kesibukan aktifitas antum, dalam segala apapun jenak kehidupan antum, jangan biarkan ia terlengah dari orientasi dakwah. Pun bagi antum yang sampai saat ini masih memiliki banyak waktu luang. Daripada antum tidur atau menonton acara tv yang kontraproduktif, saya pikir akan sangat lebih baik bagi antum ketika antum mencoba memikirkan dakwah ini. Atau minimal, antum bisa membaca dan menghafal qur’an, melahap buku, melakukan silaturrahim dakwah atau apapun yang bernilai positif, bagi antum maupun bagi dakwah. Terutama waktu-waktu “rawan” seperti habis shubuh, jangan biarkan ia tersia dengan kembalinya antum ke peraduan yang berselimutkan kelelapan. Karena salah satu hal yang di ajarkan Rosul sang tauladan adalah memproduktifkan waktu di saat-saat waktu ini. Bahkan Rosul berdoa khusus kepada Alloh untuk memberkahi umat Islam ketika di waktu paginya. Tentunya keberkahan yang turun berbarengan dengan kesungguhan dalam bergerak, bukan dalam diam, apalagi dalam tidur yang lelap. Maka kata kunci dalam pengorbanan di jalan dakwah hanya satu, tidak lain dan tidak bukan ialah jiddiyah, atau kita kenal dengan kesungguhan. Maka ikhwah, mari kita berlomba, dalam pengorbanan, dalam kesungguhan, bukan dalam hal bermalas-malasan.
Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW pada Bai’atul Harbi untuk mendengar dan setia, baik pada waktu susah mupun senang, tidk akan berpecah belah, akan mengatakan kebenaran di mana saja berada, dan tidak akan takut kepada siapapun di jalan Allah (Biat Aqabah II)
Sumber:Pena Peradaban
0 comments:
Posting Komentar