Imam Syahid Hasan Al Banna berkata,
“Wahai Ikhwan, Persatuan dan ikatan kalian adalah senjata utama, ia adalah senjata yang paling ampuh yang kalian miliki, maka jagalah persatuan itu, senantiasalah berada dalam barisan jamaah, jangan kalian berselisih dengan saudara-saudara kalian dalam sebuah permasalahan, jangan sampai kalian terpisah dikarenakan urusan-urusan yang sepele dan oleh kebimbangan yang mematikan.”
“Hendaklah kalian saling mencintai satu sama lain. Jagalah selalu persaudaraan dan kesatuan, karena ia merupakan rahasia kekuatan dan penentu keberhasilan kalian. Teguhlah dalam prinsip, sampai Allah membukakan Al Haq di antara kalian dan di tengah kalian. Dia-lah sebaik-baiknya pembuka (pemberi kemenangan). Dengar dan taatilah qiyadah (pemimpin) kalian dalam kondisi sulit maupun mudah, dalam keadaan giat ataupun malas. Itulah syiar dan simbol fikrah kalian dan mata rantai hubungan di antara kalian.”
===================================
Dari sekian lembar sejarah yang tertoreh hanya Sirah Nabi Muhammad SAW sajalah yang merupakan sejarah yang paling murni, pembahasan mengenai beliau yang menjadi suri tauladan takkan pernah habis. Akhlak, sepak terjang dan strategi beliau dapat dikaji dalam Sirah Nabawiyah Murabakfury atau Manhaj Haraki Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban atau buku-buku lainnya. Dan ini kita coba kembali menekuri sebuah kisah yang sarat dengan hikmah, semoga dapat menjadi tadzkiroh untuk kita. Baik, sekarang kita coba melompat mundur pada lintasan waktu dan membawa kita pada bai’at Aqabah kedua.
Pada bai’at yang disebut dengan Bai’atul Harbi atau bai’at perang, saat Barra’ bin Ma’rur masih berbicara dengan Rasulullah, Abul Haitsan bin Taihan menukas dan berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kami terikat oleh suatu perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan perjanjian itu akan kami putuskan! Kalau semuanya itu telah kami lakukan, kemudian Allah memenangkan Anda, apakah Anda akan kembali lagi kepada kaum Anda dan meninggalkan kami?’ Mendengar pertanyaan itu Rasulullah tersenyum, kemudian berkata, ’Darah kalian darahku; negeri kalian negeriku; aku dari kalian dan kalian dari aku. Aku akan berperang melawan siapa saja yang memerangi kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian..’
Abul Haitsam bin Taihan seorang muslim yang agung menyampaikan satu masalah penting sebelum bai’at, masalah yang memang harus disampaikan secara terus terang dan gamblang. Abul Haitsan bin Taihan menyadari bahwa pemutusan perjanjian dengan Yahudi berarti menabuhkan genderang perang terhadap mereka. Apabila Rasulullah berlepas diri dari mereka (kaum Anshar) dan kembali ke Mekkah maka hal ini berarti membiarkan kaum muslimin dibantai oleh Yahudi.
Jika Abul Haitsam ra. saja berhak mendiskusikan masalah tersebut kepada Rasulullah, maka pimpinan dimuka bumi manakah, betapapun tingginya, yang tidak boleh ditanya? Pemimpin manakah dimuka bumi ini yang kebal terhadap kritik?
Dari hal tersebut, kita dapat belajar bahwa hendaklah setiap prajurit dalam gerakan Islam mengetahui bahwa ia punya hak untuk menyampaikan sanggahan semacam ini kepada pimpinan jika pimpinan tersebut menarik diri dari pertempuran dan membiarkan mereka kelojotan sendiri. Berhak bertanya atas hal yang dapat menerangkan pikirannnya. Karena, setiap darah yang ditumpahkan atas perintah pimpinan akan diminta pertanggungjawabannya kepadanya pada hari kiamat, mengapa darah itu ditumpahkan? Mengapa ia tidak melindunginya? Mengapa dan mengapa lainnya?
Apakah jawaban Sayyidul Khalqi (Rasulullah SAW) kepada prajurit Ibnu Taihan?
Rasulullah SAW menjawab : “Darah kalian darahku; negeri kalian negeriku; aku dari kalian dan kalian dari aku. Aku akan berperang melawan siapa saja yang memerangi kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian..”
Betapa kemuliaan seorang pembicaraan antara seorang qiyadah dan jundi terekam di episode ini. Qiyadah (pemimpin) adalah bagian dari basis, sebaliknya basis adalah bagian dari pimpinan. Mereka saling menyatu serta sama dalam kesusahan dan kesenangan. Darah mereka sama, nasib mereka sama, derita mereka sama, beban mereka juga sama. Rasulullah SAW telah mengutarakan kesiapannya, padahal beliau sebagai pihak pemimpin yang diajak berdiskusi, untuk melancarkan peperangan kepada siapa saja yang memerangi prajuritnya dan berdamai dengan siapa saja yang memerangi prajuritnya.
Abul Haitsam telah melontarkan sanggahan secara manhaji dan syar’i, tidak dengan liar dan mengacau. Ini berarti dalam gerakan yang tertata rapi, kritik, sanggahan dan koreksi harus disampaikan melalui saluran-saluran yang syar’i dan struktural, bukan secara individual dan dengan cara mengacau dimana setiap prajurit memperturutkan hawa nafsunya. Saluran-saluran syar’i dan struktural dalam gerakan Islam sekarang ini tercermin dalam majelis syuranya. Ialah yang mewujudkan gambaran kritik syar’i dan konstruktif tersebut. Ialah yang “mengadili” pimpinan, mendiskusikan masalah, dan menyampaikan catatan-catatan dari bawah kepadanya. Sedangkan, pimpinan berkewajiban menjawab semua pertanyaan, menanggapi semua usulan. Dengan demikian, terjalinlah kekuatan, leutuhan, dan kesinambungan tanzhim.
Hendaknya engkau memberikan cintamu kepada para mujahid dari relung hati yang paling dalam dan memberikan masukan nasehat kepada mereka dengan buah pikiran yang jernih. Dengan begitu, Allah Swt. telah mencatat pahala untuk engkau dan telah melepaskanmu dari tanggung jawab. Janganlah sekali-kali engkau menjadi orang selainnya, sehingga hatimu akan dikunci dan dituntut dengan sepedih-pedihnya siksa.
Semoga Allah berkenan memberikan taufiq kepada kita atas apa yang dicintai dan diridhai-Nya, membimbing kita untuk meniti jalan mereka yang terpilih dan mendapatkan petunjuk, menghidupkan kita dengan kehidupan orang-orang yang punya 'izzah dan sejahtera, serta mematikan kita dengan kematian para mujahid dan syuhada. Sesungguhnya, Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
* source : Manhaj Haraki, Sirah Nabawiyah, RPIM
catt :
Tali yang tiga lembar itu tak suang-suang putus : bila kita bersatu pasti lebih kuat.