Permulaan
Kita (suami-istri) pada awalnya saling berjauhan dan tak mengenal satu sama lain. Kemudian muncul kedekatan antara diri kita dengan pasangan. Ta’aruf (pacaran) merupakan salah satu proses yang menjembatani kedekatan kita tersebut. Selama ber-ta’aruf muncullah pemikiran bahwa antara kita sudah cocok; saya kenal dia, diapun kenal saya. Atas dasar pemikiran tersebut kita sama-sama sepakat memutuskan untuk menikah.
Perkenalan yang kita lakukan selama ta’aruf sebetulnya dapat dikatakan “percuma”. Kok percuma ? Ya, sebab perkenalan yang sesungguhnya baru terjadi setelah kita sah menikah. Saat menikah suami-istri dihadapkan pada sebuah kenyataan; ternyata saya tak mengenal dia dan diapun rupanya tak mengenal saya. Banyak orang menyangka pacaran dan menikah itu suatu garis kontinum yang berkelanjutan. Padahal antara pacaran dan menikah ialah suatu dikotomi yang terpisah. Pacaran ya pacaran, menikah ya menikah. Pernikahan ialah suatu dunia baru. Kita harus beradaptasi lagi, benar-benar beradaptasi lagi dengan pasangan. Semua berawal lagi dari nol; saya adalah orang asing bagi pasangan dan pasangan ialah orang asing bagi saya. Oleh karenanya kita sangat butuh untuk saling mengenal pasangan.
Komunikasi
Komunikasi merupakan kuncinya. Hanya saja masalah komunikasi ini sering dianggap remeh oleh pasangan. Padahal soal komunikasi ini sangat krusial. Banyak rumah tangga yang cerai gara-gara soal komunikasi. Banyak pasangan yang merasa tidak puas akan pernikahannya gara-gara soal komunikasi. Semakin buruk kualitas komunikasi, semakin mudah pasangan saling mejauhi karena merasa diri berbeda dengan pasangan, semakin enggan untuk berinteraksi satu sama lain, semakin mudah untuk curhat ke orang lain bahkan selingkuh, serta semakin mudah untuk mengatakan bahwa “kami tidak cocok lagi” atau “kami sudah tidak satu visi”, dan pada akhirnya perceraianlah yang terjadi.
Komunikasi Dengan Pasangan
Komunikasi dalam rumah tangga itu tidak semudah yang dipikirkan. Meskipun komunikasi dilakukan sehari-hari oleh pasangan suami istri, sering kali kemampuan untuk melakukan komunikasi yang sifatnya mampu mengakomodasi kebutuhan masing-masing pasangan masih sulit untuk dilakukan. Karena berkomunikasi bukan urusan penyampaian informasi semata-mata. Dengan kata lain, komunikasi tidak hanya soal “apa” yang dikatakan, tetapi juga mencakup mengenai “bagaimana” dan “mengapa” sesuatu itu dikatakan. Panca indera, gerak tubuh, sikap badan, perasaan, pengalaman-pengalaman, pemikiran, semua ambil bagian dalam proses komunikasi. Memang, hubungan yang intens dalam jangka waktu lama dapat mendorong individu untuk mencapai pemahaman yang sama. Namun hal ini tetap tidak menjamin pasangan akan selalu saling memahami (Lasswell dan Lasswell, 1987). Artinya, walaupun telah lama hidup seatap dan seranjang, tidak menutup kemungkinan antara suami istri masih sulit mengerti satu sama lain.
Hambatan Dalam Komunikasi
Banyak hambatan yang muncul ketika kita akan membangun komunikasi yang baik dengan pasangan. Beberapa permasalahan yang paling sering muncul ialah sebagai berikut;
I. Dalam hal proses berkomunikasi
1. Pasangan terutama pihak istri merasa sulit untuk menahan diri agar tidak memotong perkataan suami yang belum selesai.
2. Suami atau istri mengalami kesulitan menyimak pembicaraan pasangannya.
3. Pasangan kerap kali tidak mengklarifikasi (menanyakan kembali) hal-hal yang belum dipahami.
4. Suami atau istri kurang memperhatikan kondisi fisik serta psikis pasangannya ketika akan mengutarakan sesuatu, akhirnya terjadilah perdebatan.
5. Hanya salah satu pihak, suami atau istri, yang aktif dalam memberikan respon seperti menyimak, memberikan perhatian penuh atau sampai mengelus bahu ketika pasangannya bicara.
6. Suami atau istri merasa kurang dihargai dengan cara berkomunikasi pasangannya, baik itu dari cara bicaranya, pilihan kata yang digunakan atau perkataannya lebih terkesan menyudutkan salah satu pihak.
II. Dalam hal niat/keinginan untuk berkomunikasi
1. Kurang memiliki kepercayaan terhadap pasangannya untuk terbuka yang disebabkan perasaan tidak mampu memberikan kebahagiaan pada pasangannya tersebut.
2. Adanya anggapan bahwa apa yang akan diutarakan ialah sesuatu yang kurang urgent untuk didiskusikan, sehingga menghambat suami atau istri untuk sharing pada pasangannya.
3. Ketakutan bahwa apa yang mau dibicarakan justru nantinya hanya akan menambah berat beban pasangan, sehingga lebih baik untuk menundanya dulu.
4. Kekhawatiran akan memunculkan pertengkaran, tidak didengar pendapatnya, dimarahi, tidak dihargai, ujung-ujungnya akan disalahkan jika mengungkapkan sesuatu pada pasangan.
5. Berharap pasangan akan tahu dengan sendirinya keinginan masing-masing tanpa harus berkomunikasi secara terbuka.
III. Dalam hal keterbukaan masalah seksual
1. Baru mengutarakan sesuatu jika merasa aktivitas seksualnya terganggu dan hal ini pun jarang terjadi.
2. Pasangan sama-sama kurang memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai mengenai persoalan seksual, sehingga aktivitas seksual dilakukan “ala kadarnya” saja.
3. Suami atau istri khawatir akan mengecewakan pasangannya bila mengungkapkan permasalahan seksual, yang akhirnya membuat suami atau istri lebih senang membicarakan hal ini dengan sahabatnya ataupun memendamnya sendiri.
Komunikasi Intim
Suami dan istri wajib mencapai tingkatan komunikasi yang intim. Komunikasi intim adalah kemampuan pasangan suami istri untuk melakukan penyampaian dan penerimaan pesan (proses komunikasi) yang penuh penghargaan, serta ditunjukkan secara verbal (kata-kata) maupun non verbal (bahasa tubuh), di dalamnya melibatkan penerimaan pada pasangan sebagai suatu bentuk komitmen terhadap pernikahan (Galvin dan Brommell, 1982). Terdapat tiga bentuk komunikasi intim :
1. Konfirmasi atau mengecek persamaan persepsi terhadap suatu pesan (Confirmation)
2. Adanya keterbukaan dalam berkomunikasi mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam relasi dengan pasangan (Self-disclosure).
3. Mengkomunikasikan kebutuhan serta permasalahan seksual dengan terbuka pada pasangan (Sexual communication).
Apa yang dibutuhkan ?
Confirmation -> Emphatic Listener
Di dalam confirmation, terdapat dua elemen penting yang terlibat, yakni kemampuan menjadi pendengar yang baik dan kemampuan empati. Kedua hal ini mesti terpenuhi guna tercapainya confirming yang baik.
Mendengarkan bukan kegiatan yang pasif, tetapi ia adalah suatu proses aktif. Untuk menjadi pendengar “yang benar-benar mendengarkan” pesan pembicara, seseorang membutuhkan konsentrasi. Sebagai bukti bila kita benar-benar mendengar (konsentrasi), maka sepatutnya kita juga memberikan feedback atas apa yang dibicarakan. Entah itu dengan menyetujui pandangan si pembicara, mengoreksi yang kita rasakan salah, menanyakan kembali apa yang kita rasa kurang jelas atau memberikan pandangan balik menurut diri kita sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa masalah komunikasi yang paling sering ditemukan pada pasangan ialah keraguan apakah pasangan kita benar-benar mendengarkan ?
Hasil dari mendengar secara aktif dan penuh perhatian adalah kemampuan ber-empati. Empati merupakan kemampuan untuk merasakan kondisi emosional orang lain, bahkan ketika orang tersebut tidak mengatakan apa yang ia rasakan. Emosi terhadap orang lain terlibat dalam empati. Setiap pasangan pasti ingin partner-nya dapat menunjukkan kalau ia memahami perasaan mereka, merasakan apa yang ia rasa. Permasalahannya ialah pasangan kerap kali tidak mengerti bahwa perbedaan gender berpengaruh terhadap pengungkapan emosi.
Self-disclosure -> Trust
Munculnya rasa keprecayaan (trust) dari pasangan itu tergantung kepada respon yang kita tunjukkan padanya saat dia berbicara kepada kita. Agar pasangan percaya dan mau bercerita apa adanya kepada kita, kita mesti menunjukkan padanya sebuah respon yang positif, yakni respon yang menunjukkan “tidak ada yang perlu dikhawatirkan sayang, coba ceritakan masalahmu”. Respon penerimaan ini diperlukan karena sering kali keterusterangan dari pasangan dihambat oleh perasaan insecurity (tidak aman). Perasaan yang timbul dari rasa takut akan membuat pasangan tidak senang atas informasi yang disampaikan.
Seseorang wajar takut ketika akan membuka rahasia tentang dirinya, karena tidak selalu rahasia yang akan dibeberkan itu bernada positif. Informasi negatif yang diberitahukan pasangan secara buka-bukaan, memang kerap kali malah mengundang prahara rumah tangga. Di sinilah, selain suami atau istri harus menunjukkan respon penerimaan agar pasangan tidak ragu-ragu untuk jujur, pasangan juga mesti menyiapkan mental dan lebih mengedepankan komitmen. Pada saat suami atau istri lebih mementingkan komitmen pernikahan, dia akan lebih mudah menerima pasangannya dan bangunan rumah tangga senantiasa selamat.
Faktor lain yang menghambat individu mau berterus terang ialah adanya pengalaman penolakan dari pasangannya.
Sexual communication -> Open Mind
Sexual communication mengacu pada bagaimana mengkomunikasikan kebutuhan serta permasalahan seksual dengan terbuka pada pasangan. Pasangan nikah hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang permasalahan seksual. Seperti pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan masalah seksual[1] dan hubungan seksual bukan hanya sebatas urusan fisik semata.
Ada dua faktor yang menghambat pasangan untuk bisa terbuka mengenai permasalahan seksual. Pertama, adanya rasa risih (embarrassment) dalam membicarakan soal seksual. Sesuatu yang tidak masuk akal sebetulnya ketika suami atau istri merasa terganggu saat membicarakan masalah seksual dengan pasangannya, namun fenomena ini kerap kali ditemukan pada pasangan pernikahan.
Kedua, adanya ketakutan untuk terbuka. Pasangan sering menganggap bahwa keterbukaan itu sama saja dengan menyampaikan kritik. Dan hal ini ditakutkan akan mengecewakan pasangan. Akhirnya, saat pasangan merasa tidak puas dengan kehidupan seksualnya, ia lebih memilih untuk tetap tidak puas dan berdiam diri dari pada harus berterus terang.
Esensi dari komunikasi seksual ialah membuat masing-masing pasangan senyaman mungkin di dalam memperbincangkan masalah seksual, sehingga mendorong tercapainya kenyamanan dalam melakukan aktivitas seksual. Komunikasi seksual yang intim akan tercipta ketika suami-istri saling terbuka dalam mengekspresikan kebutuhan, aspirasi dan permasalahan yang terkait kehidupan seksual.
Komunikasi Dengan Sang Khaliq
Saat sulit berkomunikasi dengan pasangan coba tingkatkan komunikasi kepada Allah SWT untuk membukakan hati dan pikiran pasangan, karena Allah juga yang maha membolak-balik hati.
Belajar Dari Rasulullah
Bagaimana cara berkomunikasi yang intim di dalam sebuah keluarga, telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw berabad-abad yang lalu melalui bagaimana Rasulullah memperlakukan keluarganya. Berikut beberapa contoh cara rasul Saw Berkomunikasi dengan istri :
- Memanggil nama anggota keluarganya atau isterinya dengan panggilan yang menyenangkan seperti ketika Rasulullah memanggil Aisyah dengan sebutan “Ya Humairo’ atau Ya Aalsy (orang-orang yang hidup).
- Berkomunikasi dengan tenang sehingga dapat menyampaikan pesan sesuai dengan misinya, penuh makna dan mengandung nilai kebaikan dan penuh kelembutan. Sekalipun ketika beliau menegur Aisyah di saat Aisyah membuang makanan yang dikirim oleh Ummu Salamah.
- Rasulullah mengiringi bahasa lisannya dengan bahasa tubuhnya. Dari Aisyah: “bahwa Rasulullah, biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau sholat dan tidak mengulangi wudhunya.”
- Beliau menyampaikan pesan dengan kalimat yang sederhana (tidak bertele-tele). Pada saat Aisyah marah, Rasulullah bersabda kepadanya: “Hai Aisyah, berlaku lembutlah, sesungguhnya apabila Allah menghendaki kebaikan kepada sebuah keluarga maka Allah akan memberikan kelembutan kepada mereka.
- Berlapang dada. Berlapang dada dengan kelemahan yang ada dalam anggota keluarga, sehingga komunikasi dimulai dengan memaafkan kesalahan mereka terlebih dahulu. Anas berkata: “saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW berkata, mengapa kamu tidak melaksanakan ini, mengapa kamu tidak melaksanakan itu, mengapa kamu tidak begini dan mengapa kamu tidak begitu. Padahal dia tinggal bersama Rasulullah selama sepuluh tahun.
***
[1] Menyangkut segi identitas seksual masing-masing pasangan, latar belakang pengalaman seksual, persepsi mengenai peran pasangan dalam kehidupan seksual sampai pandangan bagaimana seharusnya kebutuhan seksual diekspresikan.
( Yunita Sari.,M.Psi.)
0 comments:
Posting Komentar